Henk Ngantung, Gubernur DKI etnis Tionghoa pertama yang menderita karena dicap PKI

Senin, 28 Oktober 2019 | 15:54 WIB   Reporter: kompas.com
Henk Ngantung, Gubernur DKI etnis Tionghoa pertama yang menderita karena dicap PKI

ILUSTRASI. Tanaman Bugenvil tampak ditanam di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (29/8/2019).


Dalam kasus cap PKI terhadap Henk, pria kelahiran Manado, 1 Maret 1921, itu tak pernah disidang dan diberi kesempatan untuk membela diri. Cap PKI merontokkan karier Henk.

Istri Henk, Hetty Evelyn Ngantung Mamesah, mengenang betapa karier suaminya mendadak punah medio 1965, era saat rezim Orde Baru membantai ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituduh komunis.

Baca Juga: Koleksi lukisan Istana akan dipamerkan untuk umum

“Pagi-pagi di depan rumah kami di Tanah Abang II banyak RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) sedang mengepung tangsi Tjakrabirawa. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kehidupan kami selanjutnya menjadi susah hingga harus jual rumah,” kata Evelyn dalam harian Kompas edisi 9 Juni 2006.

Tragedi yang menimpa kehidupan Henk dan istri bermula pada sekitar Gerakan 30 September (G30S) 1965. Peristiwa itu juga yang memaksa Henk dan Evelyn melego rumah mereka di kawasan cukup elite, Jalan Tanah Abang II, Jakarta.

“Kami jual rumah itu karena tidak punya uang lagi. Kan sejak Pak Henk dicopot sebagai gubernur tahun 1965, Pak Henk tidak diberi pensiun. Sampai akhirnya tahun 1980, baru diberi uang pensiun oleh pemerintah,” ujar Evelyn (harian Kompas edisi 14 Oktober 2012).

Uang hasil penjualan rumah di Jalan Tanah Abang II itu digunakan untuk membeli rumah di permukiman padat penduduk di pinggir Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, seharga Rp 5,5 juta. Sejak 12 Desember 1991, Evelyn tetap tinggal di rumah mereka di gang sempit Jalan Dewi Sartika.

Baca Juga: Ini 28 lukisan koleksi istana yang dipamerkan

Henk telah tutup usia saat itu. Istri mantan gubernur Jakarta itu mesti tidur di kolong atap rumah yang hampir seluruhnya bocor. “Saya bertahan di rumah ini karena penuh kenangan dengan Pak Henk,” tutur Evelyn (Kompas, 14 Oktober 2012). 

Banyak ruangan di rumah itu yang tak bisa lagi dipakai. Beberapa foto dan lukisan (Henk seorang pelukis) akhirnya hanya ditaruh di kursi karena tidak aman jika dipajang di dinding.

Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru