WISATA - Di Sumbawa terdapat pulau yang menjadi pemukiman terpadat di Indonesia bahkan salah satu yang terpadat di dunia. Pulau Bungin.
Pulau Bungin merupakan bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Pulau tersebut begitu eksotis dan elok, berkat keunikan dan keragaman hayatinya.
Untuk mengunjunginya, memerlukan waktu sekitar enam jam dari Kota Mataram, termasuk perjalanan menyeberang dari Pelabuhan Khayangan, Pulau Lombok, menuju Pelabuhan Poto Tano, Pulau Sumbawa.
Seiring dengan gencarnya pembangunan daerah, kini untuk mencapai Pulau Bungin bisa menggunakan sepeda motor atau mobil. Sebab, pemerintah daerah telah membangun tanggul dari susunan batu karang yang menghubungkan Pulau Bungin dengan daratan.
Baca Juga: Sumbawa Timur Mining sebut potensi tembaga emas Onto di Sumbawa lebih besar
Dihuni suku Bajo
Dirangkum dari laman Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian PUPR, nenek moyang penduduk Pulau Bungin adalah Armada Laut Panglima Mayo, seorang pejuang yang berasal dari Bajo, Sulawesi Selatan.
Beliau singgah dan tinggal di Pulau Bungin karena terdesak saat melawan penjajah Belanda pada tahun 1818.
Sehingga, bahasa daerah sehari-hari penduduk pulau tersebut menggunakan bahasa Bajo, bukan bahasa asli daerah Sumbawa.
Kata Bungin berasal dari “Bubungin” yang dalam bahasa Bajo berarti tumpukan pasir putih di tengah samudera. Secara definitif, Pulau Bungin sudah menjadi desa dengan tiga dusun, sejak tahun 2002.
Baca Juga: Selain Freeport, ini smelter tembaga yang sudah dan akan dibangun di Indonesia
Luas pulau ini hanya sebesar 8,5 hektare, dengan lebih dari 5.000 penduduk menetap di sini (BPS 2014). Pulau ini mungkin satu-satunya pulau terpadat dan satu-satunya pulau yang luasnya terus bertambah.
Pada 2002, luas areal permukiman adalah enam hektare, namun sekarang berkembang menjadi lebih dari delapan hektare.
Rumah-rumah penduduk tersusun sangat rapat, dengan jarak antar rumah sekitar 1,5 meter saja. Saking rapatnya, bahkan ada beberapa atap rumah yang saling bertemu.
Konstruksi rumah yang berbentuk panggung khas Bungin, terlihat merata menutupi luas pulau.
Baca Juga: Masa transisi, petani yang belum miliki Kartu Tani tetap bisa beli pupuk bersubsidi
Hukum adat penambahan lahan
Hukum adat perkawinan warga Bungin menjadi alasan Pulau Bungin tetap mampu menampung pertambahan jumlah penduduknya. Pasalnya, dalam hukum adat diatur pasangan muda-mudi yang hendak menikah wajib membangun lokasi sendiri untuk mendirikan rumah mereka.
Caranya, pasangan tersebut harus mengumpulkan batu karang untuk ditumpuk pada sisi luar pulau yang ditentukan. Ukuran lokasinya bisa mencapai 6 meter x 12 meter, selama kurun 4 - 7 tahun. Setelah lokasi terbentuk, barulah mereka boleh menikah dan mendirikan rumah.
Itu sebabnya luas pulau Bungin terus bertambah dari tahun ke tahun. Jadi, dapat dikatakan Pulau Bungin adalah pulau karang bentukan.
Tingkat konsumsi penduduk Bungin terbilang tinggi lantaran seluruh kebutuhan hidup harus dibeli, mulai dari sembako hingga air bersih, kecuali lauk-pauk.
Baca Juga: Pariwisata dibuka, penumpang di Bandara Lombok naik 188% di Juli 2020
Uniknya, kebutuhan sehari-hari tersebut seluruhnya dipenuhi oleh kaum wanita dengan mencari ikan, kerang, dan teripang di sekitar pulau sebab kaum laki-laki melaut kadang bisa sampai tiga bulan lamanya.
Pulau Bungin memiliki potensi ekonomi melimpah yang siap dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, sekitar perairan Bungin sangat potensial menghasilkan indukan tiram mutiara terbaik di dunia.
Selain itu, banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang tertarik menyaksikan keelokan dan keunikan Bungin dari dekat, termasuk fenomena “kambing makan kertas”.
Fenomena kambing makan kertas bahkan sampah terjadi lantaran tekstur Pulau Bungin yang terdiri dari gugusan terumbu karang tidak memungkinkan di tumbuhi rumput dan dedaunan.
Selanjutnya: Ini 10 daerah dengan hari tanpa hujan terlama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News