Mengintip bisnis homestay 'Desa di Atas Awan'

Rabu, 18 September 2019 | 17:28 WIB   Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie, Dityasa H Forddanta, Jane Aprilyani
Mengintip bisnis homestay 'Desa di Atas Awan'

ILUSTRASI. Homestay di kawasan wisata Bromo


JEP GUNUNG BROMO - Bicara soal traveling ke wilayah wisata Bromo, Tengger dan Semeru, kurang lengkap rasanya jika belum membahas soal penginapan. Nah, jika Anda seorang backpacker atau traveler yang ingin mencari pengalaman berbeda, ada satu pilihan yang bisa dilirik. Yakni, homestay di rumah-rumah warga yang banyak tersebar di desa-desa yang mengelilingi kawasan wisata ini.

Saat Tim Jelajah Wisata Ekonomi KONTAN 2019 mengunjungi Bromo lewat jalur Tumpang, kami melewati sejumlah desa yang banyak menawarkan penginapan-penginapan dengan harga ekonomonis namun tetap nyaman.

Salah satunya adalah Desa Ngadas, yang terletak di dalam wilayah administrasi Kecamatan Poncokusumo, yang berada di sebelah timur bagian ujung Kabupaten Malang. Desa ini kerap disebut sebagai 'Desa di Atas Awan' karena berada di ketinggian 2.150 meter di atas permukaan laut.

Tak sulit menemukan homestay di desa ini. Saat Tim Jelajah KONTAN menyusuri jalanan desa yang hanya memiliki lebar sekitar 3,5 meter, tampak beberapa rumah menyematkan tulisan 'Homestay' di bagian depan. Memang, secara tampilan, tidak ada yang istimewa. Bahkan bentuknya seperti rumah-rumah di desa pada umumnya. Tidak terlalu besar dan tampak sederhana. Namun ada juga homestay yang sudah berbentuk rumah modern. Bertingkat dua dengan disain minimalis.

Jika Anda mencari pengalaman unik dan berbeda, homestay merupakan pilihan yang tepat. Di sini, pengunjung bisa berinteraksi langsung dengan pemilik homestay sekaligus mengamati kegiatan mereka yang merupakan Suku Tengger, penduduk asli wilayah ini.

Menurut Mujianto, Kepala Desa Ngadas, homestay di desanya sudah ada sejak 2010. Dia bercerita, Desa Ngadas masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Awalnya, TNBTS belum mengeluarkan kebijakan bahwa transportasi ke Bromo harus menggunakan transportasi lokal seperti jeep. Alhasil, homestay di desa ini belum berjalan dengan baik karena tidak ada pengunjung yang menginap.

"Akhirnya, baru pada Desember 2012, TNBTS mengeluarkan kebijakan bahwa kalau berkunjung ke Bromo harus menggunakan jasa transportasi lokal, baru kemudian homestay mulai berkembang," jelasnya.

Hingga saat ini, di Desa Ngadas sudah ada 37 homestay. Tarif yang ditetapkan pun sangat terjangkau, mulai dari Rp 150.000. Hanya saja, saat peak season seperti liburan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, harga penginapan naik sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000.  

Mujianto bercerita, setiap warga Desa Ngadas bisa menjadikan rumahnya sebagai penginapan. Tak perlu izin khusus. "Akan tetapi, TNBTS sudah menetapkan ketentuan bahwa rumah yang menjadi homestay maksimal hanya lima kamar saja, tidak boleh lebih dari itu," paparnya.

Terkait jumlah kamar ini memang ada alasannya. Menurutnya, konsep homestay di Desa Ngadas tidak sama dengan konsep homestay di kawasan Batu, Malang atau Jakarta. "Homestay di kami itu, pemilik rumah harus bersosialisasi dan berkomunikasi dengan tamunya. Jadi kalau sebuah rumah memiliki lebih dari lima kamar, dikhawatirkan dia tidak mampu menangani tamu yang banyak," paparnya.

Mujianto juga menegaskan, saat menginap di homestay Desa Ngadas, jangan berharap ada fasilitas seperti di hotel-hotel. " Di sini, kalau mau makan pun, harus sama-sama dengan tuan rumah. Biar bisa berinteraksi dan berkomunikasi. Itu  konsep homestay yang sebenarnya seperti itu," jelasnya.

Yang harus dicatat, ada ketentuan yang mutlak harus dipenuhi tamu yang menginap. Yakni, jika berpasangan, mereka harus bisa menunjukkan identitas yang membuktikan bahwa mereka adalah pasangan suami istri. "Jika belum suami istri, tidak boleh menginap. Ini untuk menjaga adat tadi," paparnya.

Minim jaringan internet

Desa lain yang juga banyak menawarkan homestay adalah Desa Gubuklakah, yang juga masuk dalam Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Muhammad Muhsin, Wakil Ketua Lembaga Desa Wisata Gubuklakah bercerita, awalnya sangat sulit mengembangkan penginapan di desanya.

"Kali pertama sekitar tahun 2010, banyak penduduk yang curiga dengan bisnis penginapan. Jadi ada anggapan, bisnis wisata dengan maksiat itu jaraknya cuma sejengkal. Untuk meyakinkan mereka sangat sulit. Tapi saya terus berusaha bahwa bisnis wisata sangat menguntungkan. Lama kelamaan, akhirnya warga bisa menerima dan senang," jelas Muhsin.

Nah, untuk menghilangkan anggapan negatif tadi, dia memperkenalkan konsep homestay syariah. Pembahasannya pun dilakukan dengan tokoh-tokoh agama dan adat setempat. "Kami diundang ke Balai Desa dan akhirnya menetapkan homestay syariah. Jadi, pasangan yang tidak bisa menunjukkan bukti bahwa mereka adalah pasangan suami istri tidak bisa menginap di sini. Ada dua cara yang bisa dilakukan sebagai pengawasan. Dari KTP dan pengawasan dari tuan rumah," paparnya.

Tarif penginapan di Desa Gubuklakah juga sama dengan Desa Ngadas, yaitu Rp 150.000 untuk hari-hari biasa dan Rp 200.000-Rp 250.000 saat masa liburan dan peak season. "Hanya saja, penginapan di sini tidak ada fasilitas, tidak dapat sarapan, dan tidak ada air hangatnya," jelas Muhsin sambil tersenyum.

Dia menambahkan, "Jadi kami ini ingin mengenalkan, begini loh homestay di sini. Masih ada adatnya. Jadi bukan rumah kosong yang disewakan melainkan rumah tinggal yang memiliki kamar lebih. Ada penghuninya, tinggal bareng, akan tetapi tidak mengurangi privasi si tamunya."

Di desa ini, Lembaga Desa Wisata Gubuklakah lah yang membantu warga untuk mengelola homestay. Misalnya saja, jika ada tamu yang mencari homestay, lembaga yang akan mengaturnya. "Jadi sistemnya digilir. Homestay yang sebelumnya sudah mendapat tamu, tidak akan dapat lagi. Ganti-gantian," jelasnya.

Kini, Muhsin bisa tersenyum. Upaya lembaga untuk mengembangkan pariwisata di Desa Gubuklakah sudah membuahkan hasil. "Saat ini, sudah ada 75 homestay yang terdaftar. Jika ada warga yang ingin membuka penginapan, harus mengajukan izin dulu ke lembaga," jelasnya.

Meski demikian, Muhsin tak cepat berpuas diri. Untuk lebih mengembangkan desanya, dia dan sekelompok warga lain menyiapkan sejumlah program. Misalnya saja, dengan menggelar seminar bagi masyarakat satu kali dalam sebulan. Tujuan dari seminar ini adalah untuk memberikan informasi tentang pengembangan wisata. "Jadi kami memberikan pelatihan, apa yang bisa dikembangkan selanjutnya oleh warga selain homestay," jelasnya.

Salah satu program yang kini telah dijalankan adalah mengelola sentra oleh-oleh. Sehingga, setiap homestay menawarkan oleh-oleh yang dikelola sendiri oleh masyarakat sekitar. "Saat ini kami punya sejumlah oleh-oleh yang diproduksi sendiri oleh warga mulai keripik apel, keripik talas, dan masih mau dikembangin lagi cuka apel," ceritanya.

Desa Gubuklakah kini sudah menjelma menjadi desa wisata terbaik di Kabupaten Malang, bahkan dijadikan sebagai desa percontohan. Sejumlah prestasi pun pernah ditorehkan. Sebut saja Juara 3 nasional lomba Desa Wisata 2013 dan Juara 1 Sapta Pesona 2013.

Muhsin berharap, pemerintah tetap memberikan perhatian untuk kemajuan wisata Desa Gubuklakah. "Kami lebih membutuhkan bimbingan dari pemerintah. Ini lebih penting untuk pengembangan desa selanjutnya," tegasnya.

Dia juga berharap agar jaringan internet diperkuat lagi. Pasalnya, internet yang ada saat ini dikelola oleh pihak swasta. "Jaringan ini yang terpenting untuk mempromosikan desa kami," tambahnya.

Sulitnya jaringan internet ini memang dialami oleh Tim Jelajah Wisata Ekonomi KONTAN. Hanya sinyal Telkomsel yang bisa diakses selama kami berada di desa ini. Sedangkan untuk provider lainnya, jaringan tidak ditemukan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 Tampilkan Semua
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

Terbaru