Taman Nasional BTS, berkembang tanpa mengesampingkan warga lokal

Kamis, 10 Oktober 2019 | 12:22 WIB   Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie, Dityasa H Forddanta, Jane Aprilyani
Taman Nasional BTS, berkembang tanpa mengesampingkan warga lokal

ILUSTRASI. Rombongan Jeep di padang Savana menghantar pengunjung menuju Gunung Bromo./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/19/09/2019.


Bisa. Namun, umumnya ini untuk keperluan komersil. Sejumlah proses administrasi juga harus diikuti.

Baca Juga: Menyibak keindahan pantai Malang yang masih tersembunyi

Pertama, dengan membuat permohonan surat izin memasuki kawasan konservasi (Simaksi) yang ditujukan kepada Balai Besar TNBTS lengkap dengan alasan memasuki TNBTS tanpa menggunakan hardtop.

Setelah itu, pemohon diminta untuk mentransfer sejumlah dana.

Rinciannya, Rp 10 juta untuk penerimaan negara bukan pajak (PNPB). Sebesar Rp 29 ribu untuk karcis per orang dan Rp 10.000 untuk karcis mobil. Selain PNPB, tarif dihitung per hari.

"Semuanya disetor ke negara," ujar Heri Kristyanto, Analis Pemanfaatan Balai Besar TNBTS.

Baca Juga: Yuk, uji nyali dengan menjajal wisata paralayang di Malang!

Itu merupakan upaya pemerintah daerah setempat untuk menjaga mata pencaharian warga lokal sebagai pemilik jasa sewa hardtop yang sudah jadi trademark wisata TNBTS. Tapi, asal tahu saja, Simaksi hanya untuk mobil. Sementara, untuk motor bebas masuk, cukup membayar karcis memasuki kawasan.

Tak sulit menemukan penginapan atau homestay di Gubuklakah dan Ngadas. Namun, menemukan tempat makan seperti restoran cukup sulit, bahkan sepanjang perjalanan, KONTAN tidak menemukan tempat tersebut. Rupanya, ini ada kaitannya dengan adat yang masih dipegang teguh oleh warga setempat, warga yang sejatinya masih merupakan suku Tengger.

Di Ngadas, jual beli tanah hanya boleh dilakukan oleh sesama warga Ngadas. Sehingga, tidak ada pemodal atau investor yang bisa membangun restoran atau bahkan hotel di wilayah ini.

Tamu yang berkunjung untuk menyewa homestay juga wajib kenal dengan pemilik homestay. Ketika waktu makan, pengunjung harus makan bersama pemilik homestay yang juga merupakan warga Ngadas.

Pintu masuk menuju kamar penginapan juga tidak terpisah, tetap harus melalui ruang tamu pemilik homestay.

Satu hal yang menarik, setiap rumah juga hanya diizinkan membangun maksimal lima kamar homestay. Ini dilakukan supaya warga lainnya bisa memiliki peluang yang sama, sehingga tidak terjadi kesenjangan ekonomi.

Baca Juga: Pesona mengejar sunrise di Pananjakan I Gunung Bromo

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Terbaru