Gaya Karmaka Surjaudaja, dari konservatif jadi agresif

Senin, 17 Februari 2020 | 22:46 WIB   Reporter: Hendrika Yunapritta
Gaya Karmaka Surjaudaja, dari konservatif jadi agresif


TOKOH - Perintis Bank NISP, singkatan dari Nila Inti Sari Penyimpan, Karmaka Surjaudaja tutup usia pada Senin (17/2) pukul 15.25 WIB. Ia meninggal dunia pada usia 85 tahun di Bandung.

Bank NISP yang Karmaka bangun mungkin bisa dinobatkan sebagai bank swasta paling tua di Indonesia. Berdiri di Bandung oleh Van Haster pada 1941, modal dasar bank yang semula bernama NV Netherlandsch Indische Spaar en Deposito Bank ini cuma seratus ribu gulden.

Tapi, kedatangan Jepang ke Indonesia telah memaksa Haster menjual bank ini kepada Lim Khe Tjie, teman main kartunya. Setelah sukses menjalankan banknya, Lim sempat bingung menentukan siapa putra mahkota untuk meneruskan usaha itu.

Baca Juga: Perintis Bank NISP Karmaka Surjaudaja tutup usia

Karmaka Surjaudaja, sang menantu yang juga calon kuat penerima tongkat estafet, ternyata lebih tertarik menjadi guru. Bahkan, usai mengabdikan diri sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, pria kelahiran Hokkian, China, ini malah bekerja di pabrik tekstil.

Tapi, akhirnya tongkat itu Karmaka sambut juga. Saat merintis Bank NISP, dia menyadari, betapa penting faktor kepercayaan nasabah.

"Bank NISP tidak mengiming-imingi nasabah dengan bunga tinggi atau hadiah. Yang penting, uang mereka aman di sini," kata Karmaka kepada Tabloid KONTAN pada 1999 silam.

Baca Juga: Jatuh bangun Karmaka Surjaudaja merintis Bank NISP

Dengan filosofi seperti itu, selama 34 tahun Karmaka membangun Bank NISP dengan gaya konservatif peninggalan mertuanya. "Ambisi saya bukan untuk menjadi bank terbesar, melainkan menjadi salah satu bank yang terbaik," katanya.  

Tapi, pengembangan Bank NISP yang biar lambat asal selamat itu mulai berubah di 1988, ketika pemerintah memberi kemudahan persyaratan membuka bank lewat kebijakan Pakto 1988.

Karmaka yakin, jika ia masih bertahan dengan cara lama, Bank NISP bakal tergusur oleh bank-bank baru. Mulailah dia menjajal untuk lebih agresif.

Baca Juga: 5 Bank nasional tertua di Indonesia

Setelah berubah menjadi bank devisa pada 1990, Bank NISP mulai membuka 22 cabang baru di seluruh Indonesia. Bahkan, di 1994, Karmaka melepas 20% saham NISP di lantai Bursa Efek Jakarta.

Setelah bercokol selama 34 tahun di pucuk pimpinan, pada 1997, pengusaha yang liat ini akhirnya menyerahkan pengelolaan Bank NISP kepada Pramukti Surjaudaja, anak ketiganya.

Tapi, awalnya Karmaka bingung. Soalnya, tak satu pun dari lima anaknya berminat di sektor perbankan. Menurut Karmaka, anak-anaknya kapok melihat penderitaannya ketika mengatasi krisis di Bank NISP.

Baca Juga: Mampu bertahan hingga tiga generasi

Setelah sanering, tahun 1965, Karmaka sempat tiga bulan menjalani perawatan di rumahsakit lantaran frustasi. Tak heran, profesi bankir sempat anak-anaknya jauhi.

Anaknya yang pertama, kedua, dan keempat memilih menjadi dokter. Sementara si bungsu wiraswasta di luar sektor perbankan.

Tapi, hati Karmaka lega ketika mengetahui Pramukti, anaknya yang nomor tiga, berminat pada dunia perbankan. Pramukti akhirnya mengambil Jurusan Banking and Finance di Golden Gate University, Amerika Serikat.

Baca Juga: Regenerasi Trah Surjaudaja di NISP

Malah Parwati Surjaudaja, anaknya nomor empat, ternyata juga berubah untuk terjun di sektor keuangan. Dengan demikian, selamatlah tongkat estafet di generasi ketiga.

Namun, nasib Pramukti sebagai bankir persis seperti sang kakek dan ayahnya. Pramukti harus jungkir balik menghadapi masalah.

Belum lama bertengger di pucuk pimpinan Bank NISP, Pramukti sudah berhadapan dengan krisis moneter, yang kemudian diikuti dengan penutupan sejumlah bank. Biarpun lolos, Bank NISP terkena dampaknya juga.

Baca Juga: Mulai Hari Ini, NISP Resmi Berganti Nama dan Logo

Para nasabah mulai menarik simpanannya. Sejarah pun terulang. Namun, Pramukti belajar dari pengalaman sang ayah.

"Saya membujuk nasabah untuk bertahan," kata Pramukti kepada Tabloid KONTAN. Caranya, menjelaskan secara langsung kinerja Bank NISP pada nasabah. Sukses, nasabah tetap bertahan.

Tapi, hal utama yang membuat NISP bisa selamat adalah sikap para pemiliknya yang konservatif. Selain tak mau mengerek suku bunga tinggi-tinggi, menurut Pramukti, mereka juga bersikap hati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

Baca Juga: OJK beri izin usaha pada modal ventura milik OCBC NISP

Tak heran, Bank NISP tetap bertahan di saat maraknya bank-bank yang ambruk karena kredit macet di grup sendiri. Pinjaman bank ini yang terkait dengan dengan grup sendiri (BMPK) cuma 0,2% dari modal saja. Lebih rendah daripada ketentuan BI yang 20%.

Walaupun termasuk satu dari 73 bank yang pemerintah nilai sehat, dan cabang-cabangnya sudah tersebar di seluruh pelosok, toh, Bank NISP tetap akan mempertahankan kantor pusatnya di Bandung.

Alasannya sederhana: "Kami mah sudah mengakar di Jawa Barat," ungkap Karmaka yang setelah menyerahkan tongkat komando kemudian duduk di kursi Presiden Komisaris Bank NISP. "Mudah-mudahan (Bank NISP) terus bertahan sampai ke cucu saya," imbuhnya.

Baca Juga: Laba OCBC NISP tumbuh 11% jadi Rp 2,9 triliun di tahun 2019

Pada 2011, Bank NISP memasuki tonggak sejarah penting setelah OCBC Bank asal Singapura mengkonsolidasikan strategi bisnis di Indonesia melalui penggabungan anak perusahaannya, Bank OCBC Indonesia ke dalam Bank OCBC NISP.

Atas pengabdian dan pengorbanannya yang luar biasa selama lebih dari 40 tahun, Karmaka mendapat gelar Chairman Emeritus serta Commissioner Emeritus, dan Senior Advisor di Bank OCBC NISP pada 2008. Sejak 2015, kemudian berubah menjadi Founding Chairman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 3 Tampilkan Semua
Editor: S.S. Kurniawan

Terbaru